Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN) sedang mengembangkan satelit konstelasi nasional yang mengorbit di lintasan ekuatorial bersama misi utama untuk proses peringatan bencana.
Peneliti Ahli Muda Pusat Riset Teknologi Satelit, Eriko Nasemudin Nasser, menyatakan pihaknya berencana 10 unit satelit untuk termasuk semua lokasi Indonesia.
“Satelit yang beroperasi berjumlah sembilan unit, tetapi satu satelit lainnya menjadi cadangan,” ujarnya didalam pernyataan yang dikutip di Jakarta, Senin.
Eriko menyatakan satelit itu nantinya dapat menghimpun knowledge dari bermacam sensor, proses peringatan dini tsunami atau tsunami early warning system (TEWS), automatic weather system (AWS), dan sensor peringatan gempa serta magnetometer.
TEWS terdiri atas sensor pakai surut yang sanggup mendeteksi dan mengukur ketinggian air laut di pantai serta tsunami buoy yang sanggup mendeteksi gelombang di lautan secara aktual.
Sedangkan, sensor AWS merupakan sebuah perangkat yang secara otomatis mengirimkan Info cuaca bersifat kecepatan angin, tekanan udara, kelembapan, temperatur, dan curah hujan.
Baca Artikel : Relawan Pacitan Optimalkan Radio
Adapun peringatan gempa memakai seismograf untuk mendeteksi dan merekam gempa. Kemudian mengirimkan peringatan secara realtime kepada pusat informasi.
“Selain itu, terdapat magnetometer untuk mengukur medan magnet bumi yang sanggup digunakan untuk memprediksi bencana,” kata Eriko.
Tak cuma untuk peringatan dini bencana, satelit-satelit itu juga punya misi untuk proses komunikasi saat bencana sebab saat kondisi darurat, proses komunikasi yang sanggup diandalkan adalah lewat satelit.
Menurut Eriko, proses komunikasi memakai voice repeater menjadi keliru satu solusi alternatif yang murah dan mudah.
“Sistem itu sudah dibuktikan oleh satelit LAPAN-A2 yang menopang komunikasi darurat terhadap saat kondisi tanggap bencana,” paparnya.
Misi lain dari satelit Nusantara Equatorial IoT (NEI) juga berfungsi untuk pengawasan maritim dan pemantauan pesawat udara. Pengawasan maritim ditunaikan secara otomatis bersama membawa muatan proses pengidentifikasian otomatis atau AIS untuk memantau kapal sebagaimana sudah ditunaikan oleh satelit LAPAN-A2 dan LAPAN-A3.
Lebih lanjut Eriko memberikan bahwa desain awal satelit NEI sudah selesai sejak preliminary design liat ditunaikan terhadap 29 Desember 2020 sampai 22 Januari 2021). Sedangkan, desain rinci di level komponen sudah dimulai sejak Februari 2021.
“Beberapa komponen layaknya komponen muatan-muatan perihal AIS, ADS-B, dan IoT sudah selesai di tahun 2023,” ucapnya.
BRIN saat ini melalukan proses desain rinci di level subsistem untuk muatan utama. Sementara subsistem di bawah Sistem Bus sedang selesaikan desain rinci di level komponen, layaknya baterai, panel surya dan system deployment, struktur utama, sensor dan actuator subsistem ADCS (Attitude Determination And Control System), propulsi, OBC (On-Board Computer), dan TTC (Telemetry, Tracking and Command).
BRIN menargetkan tahun ini sanggup selesaikan desain rinci di level komponen perihal satelit-satelit tersebut.
Adapun riset lainnya perihal dampak radiasi di lingkungan orbit terhadap komponen elektronik, muatan satelit dan user terminal berbasis software design radio, solar panel deployment system and hold down release mechanism, attitude and orbit determination control algorithm, dan lain-lain tiap-tiap membawa target publikasi ilmiah serta kekayaan intelektual.
Sistem satelit dioperasikan secara realtime lewat konstelasi sembilan satelit terhadap orbit ekuatorial bersama ketinggian 600 kilometer, agar sanggup termasuk semua lokasi Indonesia.
Untuk menopang operasi realtime tersebut, BRIN mempersiapkan empat stasiun bumi pengendali di Bogor, Bukittinggi, Parepare, dan Biak.
Eriko menyaksikan bahwa pemanfaatan satelit tersebut sanggup tingkatkan efisiensi pembiayaan 9,5 kali lipat dibandingkan menyewa satelit asing.
“Terdapat penghematan devisa kurang lebih 111 juta dolar AS per tahun. Sistem itu pun dapat mendorong industri sensor kebencanaan berbasis satelit di Indonesia secara mandiri,” pungkasnya.